Santi sebenarnya adalah
kenalan lamaku. Dia dulu seorang PSK. Aku mengenalnya ketika ia masih
menjalankan pekerjaan lamanya tersebut. Waktu itu aku masih kuliah. Satu sore
sepulang dari daerah Cideng, aku melewati wilayah Tanah Abang yang secara harfiah
berarti tanah merah. Dan memang daerah ini dikenal sebagai daerah merah. Karena
haus aku mampir ke sebuah kedai dan memesan minum.
Di dalam kedai ada seorang
wanita yang berdandan sederhana, tidak ada riasan wajah menyolok atau pakaian
yang mengundang. Aku duduk di depannya.
"Baru pulang kerja,
Mas?" tanyanya ramah.
"Iya," jawabku
singkat. Sebenarnya tidak, karena waktu itu aku memang belum bekerja.
Ia mulai memberiku beberapa
pertanyaan lagi dengan nada yang ramah, namun mulai mengarah dan akupun dapat
menduganya bahwa ia salah satu wanita yang sedang mencari mangsa. Akupun tahu
namanya, Santi, asalnya Tegal. Tingginya sekitar 155 cm dengan dada cukup
besar.
Akhirnya pertanyaan pokokpun
terucap dari mulutnya.
"Istirahat dulu,
Mas?"
Aku pura-pura bodoh dan tidak
tahu arah pembicaraannya.
"Istirahat di mana? Ini
juga mau pulang, istirahat di rumah," kataku.
"Ah Mas ini. Jangan
pura-pura. Kita ke kamar yuk!" ajaknya.
Akhirnya setelah tercapai
kesepakatan, singkat cerita kami sudah berada di dalam kamar hotel kumuh yang
bertebaran di sana.
Segera kupeluk dan kucium dia,
tetapi dia menolaknya.
"Kita mandi dulu deh
Mas!" katanya.
Tumben pikirku, kok ada PSK
yang menyuruh tamunya mandi dulu sebelum berkencan. Sepertinya mulai ada
kesanku secara khusus terhadapnya.
Pada waktu mandi, kusabuni
punggung dan payudaranya kemudian kusiram dengan air dan mulai kusedot
putingnya. Ia hanya menggerinjal dan berkata"Sabar dulu Mas, nanti
saja". Namun tangannya tidak menolakku, bahkan tangannya yang menyabuni
penisku dengan cermat sampai bersih. Tangannya tidak berusaha mengocok selama
berada di penisku, benar-benar hanya menyabuni dan membersihkannya.
Selesai mandi dan mengeringkan
tubuh, ia segera kupeluk di atas ranjang.
"Ihh Mas ini beber-benar
nggak sabaran deh. Tuh kan kalau sudah mandi badan jadi seger!" katanya.
Aku diam saja dan mulai memainkan payudaranya.
"Sebentar Mas, berbaring
aja dulu!" katanya sambil menelentangkan badanku.
Diambilnya cologne biasa,
bukan merk mahal, dan diusapkannya di dadaku dan ketiakku.
"Biar harum",
katanya.
Aku semakin terkesan dan mulai
menikmati tindakannya. Rasanya dengan uang yang kukeluarkan aku bisa
mendapatkan lebih dari yang kuharapkan. Setelah itu barulah ia menciumku dengan
lembut. Berdasar cerita dan pengalamanku tidak setiap PSK mau melayani tamunya
berciuman bibir. Namun Santi mencium bibirku dengan lembut dan semakin lama
semakin kuat menyedot bibirku.
Kini dia mencium dan mengusap
dadaku yang berbulu, kemudian terus ke bawah dan akhirnya penisku yang masih
kecil diisapnya. Tak lama kemudian penisku pun membesar akibat rangsangan yang
diberikan. Sungguh pandai ia memainkan mulut dan lidahnya di sekujur penisku.
Setelah beberapa lama ia menghentikan aksinya dan berbaring telentang. Aku tahu
ia ingin aku segera menyelesaikannya.
Kutindih dan kucium bibirnya.
Tak lama kemudian dengan arahan tangannya penisku sudah menembus liang
vaginanya. Kurasakan iapun membalas dengan penuh gairah setiap serangan yang
kulancarkan, namun aku tidak tahu apakah dia benar-benar menikmati atau hanya
sekedar servis terhadap tamunya. Lima belas menit kemudian tubuhku sudah
mengejang di atasnya. Ia tersenyum dan mengajakku membersihkan badan.
Selesai membersihkan badan,
kami masih sempat ngobrol-ngobrol sebentar hal-hal mengenai dirinya. Ketika
kutanya apakah namanya hanyalah nama profesi atau nama sebenarnya, ia
mengeluarkan KTP-nya dan menyerahkannya padaku. Kubaca, "Rosanti".
Sekilas kulihat tanggal lahirnya, berarti ia sekarang dua puluh delapan,
sementara aku waktu itu masih dua puluh tiga. Karena kami kamar yang kami sewa
menggunakan cara jam-jaman dan kulihat waktu telah habis, maka kamipun keluar
dan aku segera pulang. Kesan yang timbul padaku, bahwa ia pun menyukaiku lebih
dari sekedar PSK dan pelanggannya.
Beberapa hari kemudian, pada
suatu siang aku lewat Tanah Abang lagi. Hanya sekedar lewat, namun aku juga
berharap dapat bertemu dengan Santi lagi. Ketika berjalan dalam sebuah gang
sempit, kulihat dari belakang sepertinya Santi. Kupercepat langkahku dan
kujejerkan langkahku. Kulihat dari samping ternyata memang Santi.
"San.. Santi ya? Masih
ingat aku nggak?" tanyaku setelah berjalan di sampingnya.
Ia menoleh sambil menghentikan langkahnya. Menatapku dan mengingat-ingat, akhirnya, "Mas kan yang minggu lalu sama aku? Namanya.. Ennggh.." katanya.
Ia menoleh sambil menghentikan langkahnya. Menatapku dan mengingat-ingat, akhirnya, "Mas kan yang minggu lalu sama aku? Namanya.. Ennggh.." katanya.
Kupotong kata-katanya,
"Anto," sahutku.
"Ya, Mas Anto. Baru aku
ingat", jawabnya, "Mau ke mana?" sambungnya.
"Enggak, ini mau pulang,
kebetulan lewat sini. Siang-siang kok sudah pulang?" tanyaku.
"Aku belum pulang mulai
tadi malam. Sekarang baru bisa pulang dan mau istirahat".
Aku diam dan berpikir sejenak.
Melihatku kelihatan ragu dia bertanya, "Mau istirahat lagi?"
"Boleh deh," kataku
mengiakannya.
Dia tidak jadi pulang dan
kembali kami berkencan di hotel yang sama. Namun kali ini aku ambil sewa kamar
selama dua jam. Dengan perlakuan yang sama seperti kemarin ia melayaniku.
Setelah kutembakkan laharku, kami sama-sama berbaring ngobrol sampai waktu
habis. Ketika aku mengeluarkan dompet, ia berkata.
"Nanti aja, sekarang kita
ke kontrakanku yuk!"
Akupun menurut saja dan
mengikutinya ke rumah. Kembali kami mengobrol di kontrakannya. Ia tinggal
bersama pemilik rumah, dan pemilik rumahnyapun mengerti dan mau menerima
keadaannya. Ketika pulang, kembali kuambil uangku, namun ia tetap menolak dan
berkata.
"Untuk ongkos pulang kamu
saja ke Bogor!"
Setelah itu kami sering
bertemu. Namun tidak setiap kali bertemu kami lalu bergulat di atas ranjang.
Kadang kami hanya mengobrol saja. Kalau tidak ada di hotel, kucari dia di
kontrakannya. Santi kadang masih menolak uang pemberianku, tetapi kalau aku
lagi ada obyekan kecil, kupaksa dia untuk menerimanya. Dia menyatakan senang
kalau ngobrol denganku.
"Ada yang mau
mendengarkan dan mengerti sisi hitam dari jalan hidupku," katanya.
Aku sendiri mengatakan, kalau
ada kesempatan untuk berhenti, maka berhentilah dari pekerjaannya dan membuka
usaha atau pekerjaan yang lain.
Suatu ketika aku mencarinya di
hotel. Kata penjaga hotel dia sudah pulang belum lama tadi. Kususul ke
rumahnya. Ia sedang mandi. Tak lama kemudian ia sudah menemuiku di ruang tamu.
Ia mengenakan gaun hitam panjang dengan belahan sebelah setinggi lutut. Kakinya
yang mengenakan sepatu hak tinggi membuat ia semakin menarik. Kupikir-pikir ia
mirip dengan Yuni Shara, hanya saja kulitnya lebih gelap.
"Mau kemana. Kok rapi
sekali?" kataku.
"Kebetulan ada kamu.
Anterin ke Pasar Minggu yuk. Aku mau beli gelang kaki di toko emas langgananku.
Dulu aku punya, namun putus dan kujual," jawabnya.
Akhirnya kami berjalan ke
depan menunggu Metro Mini yang ke arah Pasar Minggu. Panas matahari terasa
menyengat kulit. Setengah jam menunggu belum ada juga Metro Mini yang kami
tunggu. Cuaca semakin panas.
"Panas, San. Kita
istirahat saja dulu yuk. Entar sore aja ke Pasar Minggunya!" ajakku.
Ia setuju. Kamipun masuk ke
dalam kamar. Kali ini dia yang memilih kamar ke penjaganya.
"Kamar yang di
sudut," katanya.
"Sama aja. Emangnya apa
bedanya?" tanyaku.
Ia tersenyum saja. Setelah
mengambil kunci maka kami masuk ke dalam kamar yang dimaksudkannya. Isi dalam
kamr tidak berbeda dengan kamar lainnya. Sebuah bed standar, kipas di
langit-langit, lemari dan kamar mandi. Namun ketika kulihat di dinding, maka
ada cermin yang dipasang memanjang sejajar dengan arah bed.
"Ooo, ini toh
bedanya.." kataku.
"Tidak semua kamar ada
cerminnya. Aku tahu beberapa kamar yang dipasang cermin. Dulu-dulu selalu tidak
pernah kebagian kamar ini".
Ia membaringkan badannya.
"Tidak mandi?" tanyaku.
Ia mengeleng, "Tidak, aku
kan baru saja mandi. Kamu saja mandi yang bersih!"
Aku mandi dengan cepat dan
yang penting kusabuni meriamku sampai bersih. Kulihat sudah mulai membesar
tidak sabar untuk menembakkan pelurunya.
Selesai mandi aku keluar dari
kamar mandi dengan berlilitkan handuk. Kulihat Santi sedang berdiri dan mulai
membuka kancing gaunnya. Kupeluk dia dari belakang dan tanganku membantunya
melepaskan kancing dan bajunya. Seperti biasanya ia mengenakan celana dan bra
hitam transparan sehingga apa yang ada di baliknya terlihat membayang. Setelah
bra-nya terlepas, kurems-remas payudaranya dari bagian bawahnya. Kucium leher
dan telinga kirinya, tangan kirinya terangkat dan kemudian menarik rambutku.
Handukku terlepas setelah tangannya yang lain menarik ikatannya.
Kutekankan selangkanganku di
atas belahan pantatnya. Penisku yang sudah mulai siaga segera terarah ke atas setelah
menempel di pinggangnya. Kulepaskan tangannya dan mulutku kemudian menyapu
seluruh punggungnya. Dengan gigiku kulepas kaitan bra-nya dan dengan berjongkok
kugigit ban celana dalamnya, kutarik ke bawah dan kuteruskan dengan tangan
untuk melepasnya.
Kubopong dan kubawa di ranjang. Aku berdiri dengan
posisi menghadap ranjang dan Santi berbaring miring, dia dengan lahap menghisap
kejantananku. Dijilatinya lubang kencingku, sedang tangannya memegang dan
mengocok batang penisku kemudian memijat-mijat buah zakarku.
"Hhmm.. Terus San. Enak..
Ohh.. Aaagak keraas Saantiihh..".
Setelah beberapa menit
menjilati kejantananku, aku melepaskan penisku dari mulutku. Kubuka kakinya
lebar-lebar, tercium aroma yang khas namun segar.
"Mau diapain To?"
"Tenang aja, Aku juga
ingin jilatin milikmu"
"Enggak usah To. Jangan..
Jang.. Ngan!"
Tanpa menunggu kata-kata yang
akan diucapkannya lagi, aku langsung menjulurkan lidahku menuju lubang
vaginanya. Dia hanya bisa merintih.
"Oooh.. Ssshhtt..
To.."
Tangannya menjambak rambutku.
Lidahku mulai mengarah ke klitorisnya. Jambakannya bertambah kuat dan
desahannya semakin menjadi.
"Tteeruus.. Saayaanghh..
Ooohh!"
Aku semakin cepat menggerakkan
lidahku berputar-putar dan menjilati klitorisnya. Sesekali aku menyedotnya
dengan keras. Beberapa detik kemudian kedua tangannya menekan kepalaku dengan
kuat sehingga aku sedikit susah bernafas. Aku semakin kuat menjilati
klitorisnya.
Kuhentikan gerakan lidahku.
Kutindih tubuhnya dan wajahnya kulihat tersenyum. Sambil berciuman tangan
kananku menjelajah ke selangkangannya. Dia semakin agresif menyedot bibirku.
Bibirku turun ke lehernya, kujilat lehernya dan beralih ke dadanya. Kuisap
putingnya dan sesekali kugigit belahan dadanya.
"Ssshh.. To.. Ahh..
Shh..".
Tangan kanannya meraih batang
penisku yang sedari tadi sudah mengeras. Kurasakan nafasnya sudah mulai tak
teratur. Dia meremas penisku dan mengocoknya. Aku sangat menikmatinya permainan
bibir dan tangannya.
Santi melebarkan sedikit
kakinya. Kejantananku yang semakin mengeras kuarahkan ke dalam lubang
kenikmatannya. Nafas kami sama-sama sudah tidak beraturan. Kucium bibir dan
buah dadanya."Sekarang masukin saja ya!" katanya. Dibimbingnya
kejantananku menuju lubang guanya. Dan..
Slepp.. Blesshh!
Aku mulai menggerakkan
pantatku. Cropp.. Cropp.. Crop bunyi diantara selangkangan kami mulai mengeras.
Santi semakin meracau.
"Ehhnaakk.. Terus yang
keraas yaang.. Ahh,"
Kugerakkan pantatku semakin
cepat hingga kejantananku terasa mentok dirahimnya. Santi membalas gerakanku
dengan gerakan memutar pinggulnya. Kakinya menjepit pinggulku, tangannya
mejepit leher dan meremas rambutku. Demikian kami lakukan beberapa menit dengan
mengatur tempo gerakan. Kalau desiran di penisku sudah terasa meningkat aku
menurunkan tempo, setelah agak menurun maka kutingkatkan, kugenjot dengan
cepat.
Kulirik bayangan di cermin.
Aku seperti melihat film dengan diriku sendiri menjadi aktornya. Tubuhnya yang
mungil tenggelam dalam pelukan dan genjotanku.
"Sudah.. To. Aku tidak
kuat lagi!" jeritnya sambil mengetatkan jepitan kakinya.
Akupun dalam kondisi gairah
yang memuncak, tinggal menunggu saat yang tepat dan kurasakan inilah saatnya.
Gerakan badan dan pantatku semakin cepat, pinggulnya semakin liar
berputar-putar.
"Santii.. Eeeghk.. Aku..
Mauu.. Keelluuaarr.. Ahh..!!"
"Ahh.. Ayo.. To. Ayo..
Sekaranghh".
Kutahan gerakan pantatku
ketika dalam posisi naik. Dan akhirnya aliran lahar yang tertahan dari tadipun
meledak. Kutindih tubuhnya dengan kuat. Ia mengendorkan jepitan pada pinggangku
namun betisnya membelit betisku dan dengan mengait betisku pantatnya naik
menyambut kejantananku yang terhunjam cepat. Penisku masih berdenyut di dalam
vaginanya dan menyemprotkan sisa-sisa lahar.
Beberapa minggu kemudian
akupun sudah diterima sebagai staf pembukuan di sebuah perusahaan di sekitar
Harmoni. Selama bekerja Santi juga menjadi saluran bagi pemuasan gairahku.
Ketika pada suatu hari aku
mampir ke rumahnya dia bilang mau menikah dengan seorang pengusaha toko sepatu.
Namun dia tidak bilang kapan waktunya. Aku mendukung rencananya untuk menikah.
Kuberikan kartu namaku dan kukatakan.
"Hubungi aku kalau kamu
ada apa-apa!".
Ketika kucari dia di hotel
tidak ada dan kemudian aku ke rumahnya, maka bapak pemilik rumahnya bilang ada
titipan pesan untukku kalau dia sudah menikah.
Aku masih menjalani kehidupanku
dengan menjalin hubungan dengan beberapa wanita dalam satu rentang waktu.
Tentunya dengan manajemen waktu yang tepat agar tidak bertabrakan jadwal. Santi
juga tidak pernah menelponku. Kupikir ya sudah, biarlah dia bahagia dengan
kehidupan barunya.
Suatu sore pulang dari kantor
aku berjalan ke arah Juanda. Tiba-tiba kulihat sekelebatan wajah seperti Santi
berjalan di depan sana. Kukejar dan ternyata memang benar. Dia terkejut ketika
aku memanggilnya.
"San.. Santi. Tunggu
dulu!"
"Eh, Mas Anto. Apa
kabar?" katanya sambil menjabat tanganku. Kupegang tangannya dan tidak
segera kulepaskan.
"Baik. Kamu agak gemukan
sekarang. Syukurlah kalau kamu sudah bahagia. Kok nggak pernah telpon
aku?"
"Kartu nama Mas ditemukan
suamiku dan dibuangnya".
Aku mengangguk-anggukkan
kepalaku.
"Sekarang mau
kemana?" tanyaku.
"Mau belanja di
situ", katanya sambil menunjuk ke arah Pasar Baru.
"Boleh kutemanin
ya!"
"Ngrepotin dan ngganggu
acara Mas Anto saja".
Akhirnya kutemani dia belanja
dan setelah selesai belanja kuajak dia makan di sebuah restoran fast food.
Sambil makan dia cerita bahwa dia ternyata dijadikan istri muda. Dia diberikan
modal untuk membuka warung kelontong. Namun suaminya jarang pulang ke rumahnya,
lebih banyak di toko atau di tempat istri tuanya.
Dia berkata kalau dia kadang
sangat kesepian. Secara materi dia sudah cukup, namun secara batiniah dia
menderita. Sebenarnya suaminya bukan seorang yang lemah dalam hal permainan
ranjang, namun karena frekuensi ketemunya jarang maka dia menjadi kesepian.
"Aku sangat senang
bertemu kamu sekarang ini. Aku tidak menduga kalau masih bisa bertemu
kamu," katanya.
"Iya, aku juga senang
melihat kamu sudah hidup enak dan tidak menjadi hinaan orang. sudah malam, aku
mau pulang," kataku. Ia termangu-mangu.
"To, aku mau mengulangi
saat-saat yang kita jalani dulu," katanya. Bibirnya bergetar waktu
menatapku. Aku ragu-ragu. Kemarin sore aku sudah terkapar lemas dengan seorang
wanitaku. Bekas gigitannya masih kelihatan memerah di dadaku.
"Ayolah To.
Kumohon!"
Akhirnya kuputuskan untuk
menemaninya sore ini. Kami segera check in di hotel dekat sini. Karena lama
tidak bertemu, maka ia dengan cepat sudah mencapai klimaks dan akupun segera
menyusulnya. Terasa kering suasana sore itu, karena memang gairahku tidak
maksimal. Santi sepertinya merasa juga bahwa aku kurang bergairah, tidak
seperti dulu-dulu.
Ketika kami berbaring, ia
melihat tanda merah di dadaku. Ia menarik napas panjang.
"Hhh. Pantas saja kamu
tidak bergairah sore ini. Berapa kali kamu lakukan dan dengan pelacur
mana?" katanya tajam.
Aku diam saja. Percuma saja
meladeninya. Akhirnya setelah diam sejenak aku minta maaf dan menjelaskan bahwa
setelah dia menikah akupun harus menyalurkan gairahku dengan wanita selain dia.
Aku minta maaf untuk sore yang tidak menyenangkan ini dan ia memintaku untuk
memuaskannya tiga hari lagi, pas jatuh pada hari libur nasional. Aku memintanya
untuk mengenakan gaun panjang hitam dan sepatu hak tinggi. Kami pulang naik
taksi dan kuantar dia sampai depan rumahnya. Aku sengaja tidak mampir dan iapun
juga melarangku untuk mampir ke rumahnya.
Tiga hari kemudian kami
bertemu di tempat yang telah disepakati. Santi mengenakan pakaian seperti yang
kuminta. Kami segera menuju ke hotel yang terselip di dalam gang di daerah
Senen. Setelah registrasi dan menyelesaikan administrasi, kamipun masuk ke
dalam kamar.
Room boy yang mengantar kami
kemudian berbisik, "Pak mau sewa video? Kalau mau saya ambilkan".
Aku kemudian mengiakannya.
Room boy tadi kembali ke bawah dan tak lama kemudian sudah muncul kembali
dengan video player dan tiga buah kasetnya. Waktu itu laser disc apalagi VCD
belum banyak beredar. Sementara kami memasang kabel-kabel video ke TV kamar,
Santi masuk ke kamar mandi. Setelah selesai memasang kabel, maka room boy
tadipun keluar dan berpesan.
"Selamat bersenang-senang
pak. Kalau Bapak pulang, videonya biar saja disini, nanti biar saya
bereskan".
Setelah memasang kaset yang
pertama, akupun membuka bajuku dan membaringkan tubuhku ke atas ranjang yang
empuk. Sangat berbeda dengan ranjang di Tanah Abang dulu. Santi sudah berbaring
di atas ranjang dengan tubuh tertutup selimut. Kucium dengan lembut, iapun
membalasnya dengan lembut. Ia mengamati dadaku.
"Kamu sudah siap? Nanti
seperti kemarin lagi. Aku hanya dapat sisa-sisa," katanya mencibirkan
bibirnya. Kucubit pinggangnya dan iapun mengelinjang kegelian.
"Kita nonton video dulu
ya.." katanya.
Sambil berpelukan kami
menonton adegan demi adegan dalam video yang kuputar. Kaset pertama adalah film
biru yang dibintangi aktris Mandarin. Adegan-adegan yang muncul adalah adegan
seperti biasa dalam sebuah kaset BF. Namun karena kami nonton berdua maka ada
suatu gairah lain yang muncul. Ketika adegan dalam video sudah makin panas maka
ia pun berbisik.
"Mas.. Aku sudah
terangsang. Ayo kita mulai!"
Kubuka selimut yang menutupi.
Ia mengenakan baju senam yang mirip baju renang. Kami saling berciuman,
berguling, menjilati, memagut dan mengusap bagian-bagian tubuh yang
mendatangkan kenikmatan. Ketika bajunya kubuka dari bahunya, ternyata ia sudah
tidak mengenakan pakaian dalam lagi. Ia mengerti keherananku.
"Kubuka waktu aku ke
kamar mandi. Kalian sedang memasang video", katanya tersenyum.
Tangannya bergerak ke
celanaku, membuka ikat pinggang, kancing dan ritsluiting kemudian menyusup ke
balik celana dalamku, mengusap-usap kejantananku yang mulai berdiri. Ia
bergerak ke arah kakiku dan setelah semua kain di tubuhku terlepas dengan cepat
diciuminya kejantananku sehingga tak lama kemudian semakin tegak berdiri siap
menghadapi lawannya.
Kuberikan isyarat agar ia
memutar badannya ke atas. Kini mulut kami sudah asyik dengan mainannya.
Kujilati bibir vaginanya, kubuka dengan tanganku dan akhirnya sampailah di
gundukan kecilnya. Ia mendesah kuat ketika lidahku mulai bekerja di situ.
Dibalasnya dengan suatu sedotan kuat pada penisku, kemudian tangannya mengocok
batang penisku. Kami bergulingan dalam posisi itu. Kadang aku di bawah, kadang
aku di atas. Setelah puas mulut kami bermain di selangkangan, maka kuhentikan
babak ini.
Kutindih tubuhnya dan dengan
satu tusukan penisku sudah masuk di dalam guanya yang lembab.
Terasa lebih sempit dan nikmat
dibandingkan dulu.
"Nikmat sekali San. Lebih
sempit," kataku.
"Iya, karena jarang
dipakai. Suamiku belum tentu seminggu sekali menggauliku.. He.. Hhh".
Ketika dengan cepat aku mulai
menggenjotnya, maka lentingan pegas di ranjang terasa sangat membantu. Kugenjot
dengan cepat, namun ada gaya tolakan dari lentingan pegas di ranjang sehingga
dengan sedikit tenaga pantatku sudah naik dengan sendirinya.
Kuputar kakinya dan kuajak
untuk bermain doggy style. Ia menurut saja. Sebentar kemudian tanpa melepaskan
kemaluan, aku sudah berada di belakangnya dan menggerakkan pantatku maju
mundur.
Plok.. Plok.. Plok.. Suara itu
terdengar ketika pahaku beradu dengan pantatnya. Ia hanya sedikit menggerakkan
pantatnya. Kurasakan ia tidak bisa menikmatinya, maka kami kembali dalam posisi
semula. Setelah beberapa lama kemudian, ia memberi isyarat untuk mengakhiri
permainan ini.
"Akhh.. Ahh. Lebih cepat
dan kuat sayangku.. Ooouhh!"
Giginya menggigit bibir
bawahnya, tangannya meremas rambutnya sendiri. Gerakanku semakin kupercepat dan
lentingan pegas ke arah ataspun semakin kuat dan akhirnya
Hhhkk..
Badannya mengejang dengan bola
mata memutih. Kugenjot lagi dan serr.. Spermaku tumpah ke dalam liang
vaginanya. Setelah mandi dan berbaring menonton video lagi, lima belas menit
kepalanya sudah bermain di selangkanganku.
"Jangan San.. Aku
belum..".
"Tuh kan.. Kamu cepat
loyo sekarang ini. Jangan-jangan kemarinpun kau sudah naik di atas perut wanita
duluan".
"Nggak.. benar kok.
Nggak. Beri aku waktu sebentar. Kamu akan kupuaskan sampek elek!"
Benar saja. Hari itu kami
habiskan dengan dua puncak permainan yang lebih seru. Kembali kuantarkan Santi
ke rumahnya. Kami tidak janjian untuk ketemu lagi, hanya kembali kuberikan
nomor telpon kantorku dan ia berjanji untuk menelponku setiap kali membutuhkan
pelepas dahaganya.
Namun kemudian sampai sekarang
telpon darinya tidak pernah ada. Biarlah Santi menikmati kehidupannya sekarang
dan menjadi memori masa laluku.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar